Senin, 15 Desember 2008

Kidung "Magnificat" Maria

Lalu kata Maria: "Jiwaku memuliakan Tuhan,” (Lukas 1:46)

Apabila Anda penggemar musik klasik, tentu mengenal salah satu komposisi yang berjudul “Magnificat” karya Johan Sebastian Bach. Judul ini diambil dari madah (puji-pujian) yang diucapkan oleh Maria, ketika bertemu Elisabet, saudarinya. Ketika Elisabet menyambut Maria, ia mengucapkan madah. Maria membalasnya dengan madah pula yang menonjolkan kasih Allah, yang telah ditanggapi dengan iman penuh penyerahan diri.
Madah ini dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama (ay. 46-50), Maria mengagungkan tindakan kuasa Allah demi dirinya, wanita yang berstatus sosial rendah. Lewat berbagai ungkapan, dia menegaskan prakarsa kasih Allah.
Bagian kedua (ay. 51-55), menggambarkan semacam ‘revolusi sosial’ yang sedang dikerjakan dan kelak akan diwujudkan Allah di bumi ini. Nilai-nilai yang dianut dunia akan dijungkir-balikkan. Sebab Allah memperhatikan mereka yang hina-dina dan tidak diperhitungkan oleh masyarakat, khususnya oleh penguasa.
Melihat rencana Allah itu, maka hati Maria tergerak untuk memuliakan Tuhan. Manusia memang tidak mampu menambah keagungan Allah, tapi dapat menyadari dan menyatakan kemuliaan-Nya. Salah satu bentuk pengakuan terhadap kebesaran Allah adalah melalui puji-pujian dan doa.
Keluarga Zakaria merupakan sebuah keluarga yang sederhana sebagaimana keluarga Maria. Keluarga Zakaria berbeda dengan keluarga imam-imam kepala yang lain yang tinggal di ibukota. Keluarga seperti imam Zakaria terpaksa mencari nafkah hidup dengan melakukan pekerjaan tambahan, misalnya sebagai tukang kayu, pemahat batu, atau menjadi pedagang.
Mengapa Maria mengunjungi Elisabeth? Maria setelah mendapat kabar dari malaikat Gabriel bahwa saudarinya itu (Elisabeth) juga mengandung, ia mengunjunginya karena ia ingin menolong Elisabeth (bdk. Tradisi mitoni di suku Jawa, untuk perempuan yang mengandung anak pertama). Sebab yang lain adalah karena di Nazaret tak ada seorangpun yang dapat diajak bicara oleh Maria mengenai pengalaman mengandung. Maka, Maria segera pergi ke Ain Karem, untuk bertukar pikiran dengan Elisabeth. Perjalanan ke Ain Karem memakan waktu sampai lima hari atau berjarak sekitar 150 km.
Pertemuan kedua orang itu memiliki arti yang mendalam. Meskipun Elisabet lebih tua namun ia merasa dihormati, terbukti dengan kata-kata yang diucapkannya: ”Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?” (Luk 1:43). Seketika itu anak yang ada di dalam rahimnya melonjak kegirangan, karena anak itu telah ditunjuk untuk menjadi nabi yang akan memperiapkan jalan bagi Tuhan.
Maria dan Elisabet hidup dalam suasana miskin dan merindukan pembebasan. Mereka tahu bahwa pembebasan itu tidak mungkin dilaksanakan oleh pemimpin yang berkuasa saat itu. Penguasa harus turun untuk memberi tempat bagi yang rendah. Orang kaya harus pergi dengan tangan kosong, agar orang yang lapar dapat menikmati apa yang telah disediakan oleh Tuhan. Dalam kidung Maria, Maria mewakili seluruh bangsa Israel yang rindu akan penyelamatan yang dinubuatkan oleh para nabi.
Maria dan Elisabeth sama-sama mengerti dan terbuka pada rencana Tuhan. Seperti kanak-kanak Musa diselamatkan berkat kerja sama para wanita (ibu Musa, kakak perempuan Musa, dan putri Firaun dan para dayangnya), di sini rencana Tuhan dimulai kaum wanita.

Melalui karya penyelamatan, kita telah dimasukkan dalam tindakan penyelamatan Allah. Kita yang seharusnya dihukum, karena kasih karunia Allah mendapatkan pembebasan dalam penghakiman terakhir. Tidak itu saja. Kita malah dianugerahi kemuliaan sorgawi. Mengetahui semua itu, hati siapa yang tidak akan memuliakan Tuhan, “Jiwaku memuliakan Tuhan!” Sudahkah Anda memuliakan Tuhan?

SMS from God: Pujilah Tuhan, sebab besar kasih setia-Nya pada umat-Nya.

1 komentar:

Yustinus Yung Sutrisno Jusuf, OSC mengatakan...

Terimakasih Pak Benedictus atas ulasan, renungan, dan penjelasannya. Saya tertarik dengan tulisan sederhana yang sangat berbobot ini. Mohon informasi apakah ada sumber buku yang digunakan atau rujukannya. Saya membutuhkannya untuk penulisan paper kuliah saya. Terimakasih Pak Benedictus.