Senin, 15 Desember 2008

Permenungan: Memaknai Hari Natal

Artikel ini saya ambil dari tulisan Sdr. Idham dalam www.gp-ansor.org
Semoga bermanfaat dalam menjaga kerukunan beragama di republik ini.

Setiap kali mendekati pelaksanaan hari Natal, muncul perdebatan klasik yang terus berkembang dan menjadi wacana yang tidak produktif. Tokoh-tokoh agama kembali mulai mengingatkan kepada umatnya “melarang” mengucapkan SELAMAT NATAL kepada saudara-saudarannya (se-bangsa) sendiri. Memang tidak sedikit juga bersikap moderat dalam memaknai ucapan SELAMAT NATAL yang dianggapnya boleh-boleh saja. Perdebatan yang tidak produktif itu terjadi karena paradigma keagamaan yang berbeda dalam memandang dan menafsirkan tindakan ucapan selamat natal itu sendiri. Seharusnya perdebatan itu tidak terjadi kalau saja kita tidak memaknai ucapan SELAMAT NATAL itu dalam doktrin keagamaan tertentu, yang seharusnya ucapan selamat itu dimaknai dalam konteks kemanusiaan dan persaudaraan, murni sebagai upaya penguatan relasi sosial.
Bahwa perlu memberikan ucapan selamat kepada saudara kita yang merayakannya. Kalaupun membawanya ke dalam konteks teologinya, harus diarahkan untuk lebih menghormati kelahiran nabi Isa (Yesus). Bukankah dalam ajaran Islam sendiri kita dilarang untuk membeda-bedakan nabi-nabi Allah (la nufarriq bayna ahadin min rusulih)?
Dalam masyarakat yang plural, sangat urgen adanya saling memahami ajaran agama masing-masing dengan mendalam (kaffah), selain bisa membangun cara keberagamaan yang lebih berkualitas, juga bisa menularkan bangunan rasa saling hormat dan menghormati satu sama lainnya. Tidak kalah pentingnya akan mampu melahirkan sikap terbuka dan menerima, bukan untuk mempertebal sikap fanatik dan curiga antar umat beragama. Karena antara umat beragama masing-masing punya kesamaan khususnya dalam konteks hubungan sosial dan ajaran-ajaran universal.
Islam dan Kristen akan bisa bertemu dalam dalam ajaran cinta kasih, ajaran cinta yang selama ini sangat identik dengan ajaran Kristen, sedangkan ajaran “rahmat” (kasih) sangat identik dengan ajaran Islam. Ajaran cinta kasih harus menjadi kekuatan utama dalam membangun harmonisasi sosial antar umat beragama.
Mengucapkan SELAMAT NATAL , bukan berarti kita menukar dan mengotori aqidah untuk persaudaraan. Karena setiap pemeluk agama masing-masing punya batas-batas toleransi, hormat-menghormati dan menjaga kemurnian aqidah. Meski mengucapkan selamat, tetapi akidah islamiyah tetap murni dan tidak terkotori oleh ajaran lainnya. Ucapan SELAMAT NATAL tidak melulu dilihat sebagai doktrin keamaan, apalagi pintu masuk dalam ke-murtad-an. Harus juga dipandang dari sudut mujamalah dan muhasanah. Tentu ajaran Islam tidak melarang kita untuk menjaga pergaulan baik dengan saudara-saudara kita sendiri. terlebih mereka juga menucapkan hal yang sama disaat kita merayakan hari raya idul fitri dan idul.
Pada dasarnya larangan ucapan selamat natal boleh jadi karena menganggap ucapan selamat itu sudah merupakan prasyarat ritual keagamaan, atau karena ketakutan tokoh-tokoh agama melihat umatnya bisa terpengaruh dengan ajaran lainnya dan menyebabkan bisa murtad.
Islam adalah ajaran kemanusiaan yang tentu mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang harus jadi mainstream umat. Sebagai umat mayoritas Islam, hendaknya mampu melindungi seluruh umat lain dari berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan tanpa memandang mereka berbeda aqidah dengan kita. Ajaran toleransi yang sesungguhnya juga diajarkan oleh Rasulullah dan sahabat-sahabatnya.

Dalam sejarah Ibn Khaldun dijelaskan, ‘Umar ibn Khathtab datang ke Syam guna mengikat perjanjian damai dengan penduduk Ramalla. Umar mendatangi mereka dan menulis perjanjian keamanan yang substansinya berbunyi: Dengan nama Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, dari Umar ibn Khaththab kepada penduduk Ailea (Baytul Maqdis atau Yerusalem), bahwa mereka aman atas jiwa dan anak turun mereka, juga wanita-wanita mereka, dan semua gereja mereka tidak boleh diduduki dan tidak boleh dirusak.
Di lain waktu, Umar ibn Khaththab juga pernah sembahyang di anak tangga Gereja, dan tidak mendapat penentangan dari sahabat Rasulullah yang lainnya, termasuk Rasulullah itu sendiri. tetapi, kenapa hanya mengucapkan SELAMAT NATAL saja di haramkan? Bukankah itu sangat berlebihan dalam menginterpretasikan ajaran agama khususnya memaknai realitas ucapan selamat natal itu sendiri. Sama halnya ketika MUI mengharamkan pluralisme, padahal pluralisme menjadi salah satu faktor utama toleransi yang baik antar-agama, pluralisme menawarkan persaudaraan antara sesama tanpa harus mencampuri keyakinan satu sama lain, pluralisme selalu mendasarkan atas segala sesuatu pada perbedaan dan bukan kesamaan.

Perbedaan tetaplah berbeda, jangan pernah memaksakan untuk bisa sama apalagi seragam.

Salam...

Tidak ada komentar: